Abah dan Secangkir Kopi
Tangan yang sudah cukup renta itu
terus mengaduk kopi manis. Begitulah aktivitas yang ia lakukan di dalam warung yang kecil itu.
Ya, karena rumahku memang tak besar juga. Dapat dikatakan rumah dan warungku
hanya seperti ukuran dapur orang-orang mapan. Pagi-pagi buta selalu ada aroma
wangi yang keluar dari seduhan air panas.
Siapa lagi yang menyeduh kopi selain Abah? Aku dibangunkan oleh semerbak wangi
aroma kopi. Aku pun tak mau kalah dengan ayam yang sudah berkokok merdu. Sejak
aku kecil aku terbiasa terbangun pagi di saat kawan-kawan kecilku masih bermanja-manja
dengan selimutnya, membantu Abah di warung kopi sudah menjadi keseharianku. Suara rebusan air dan gelas-gelas
yang sedang ditata
rapi di meja warung kopi adalah komposisi irama musik yang paling kusukai. Aku sebagai
gadis kecil Abah ingin selalu berada di dekatnya, membantunya kapanpun ia
membutuhkanku. Tak mau sedikitpun aku melihat Abah kewalahan melayani para pelanggannya.
Ibuku juga membangunkanku dengan aroma pisang gorengnya. Begitu nikmat dan
menggoda. Abah dan Ibu sudah harus siap melayani pembeli tepat pukul 06.00
pagi. Saat itulah akan banyak petani kopi yang mampir sejenak untuk menyeruput
kopi kesukaan mereka dan mengganjal perut dengan pisang-pisang goreng di warung
Abah.
Abah memintaku mengambil 5 gelas
lagi di dapur. Aku pun segera bergegas mencari apa yang Abah minta. Aku juga menyiapkan kertas-kertas
putih yang kukumpulkan dari buku-buku bekas dan sebuah pulpen. Bukan untuk
mencatat pelajaran sekolah atau rumus-rumus yang aku sering tak mengerti.
Kertas catatan dan pulpen digunakan oleh mereka, pelanggan
setia warung Abah untuk menuliskan pesanan yang mereka
mau. Tak perlu waktu lama, kopi
dan pisang goreng pun akan datang dengan segera. Semua itu untuk mempermudah
pekerjaan Abahku yang seorang tunarungu. Tak jarang orang-orang hanya memberi
isyarat dengan menunjuk barang dan menyebutkan nominal dengan jari,
sebab mereka tidak sabar untuk menunggu giliran menulis pesanannya bila warung
tengah ramai. Abahku
pun tersenyum dan mengangguk sebagai isyarat bahwa Abah memahami
pesanan mereka.
Tiga
kali dalam seminggu Abah harus membeli biji kopi kering yang sudah diolah dari
pedagang di desa sebelah. Biji kopi itu nantinya akan Abah tumbuk menggunakan
alu. Abah tidak bisa membeli dalam jumlah banyak, karena jumlah pesanan kopi di
warung kami yang tidak menentu. Sebenarnya ada pabrik kopi di daerah kami yang
sudah memproses biji kopi menjadi kopi bubuk siap seduh, namun Abah tidak
sanggup untuk membelinya. Harganya yang cukup mahal juga akan membuat warung
kopi kami sepi karena pelanggan kami pun tidak mampu untuk membelinya. Abah
pernah bercanda kepadaku melalui bahasa isyaratnya, bahwa kelak aku akan
memiliki pabrik kopi seperti pabrik kopi Cap Capung, yaitu nama pabrik kopi di
daerah kami tersebut.
“Abah, Dina dinten niki libur
sekolah pengen saged rewangi Abah”. Aku berusaha memberi isyarat dan membujuk
Abah agar beristirahat di hari Minggu, aku ingin
membantu menggantikannya menjaga warung karena
aku sedang libur.
Abah membalas dengan isyarat agar
aku masuk ke kamar untuk belajar saja lalu beristirahat. Namun, aku terus merengek agar Abah membiarkanku membantunya.
Keluargaku adalah keluarga yang harmonis,
hingga akhirnya Ibuku memilih menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di negara lain
demi alasan menopang keluarga karena pada waktu itu usaha warung kopi Abah
belum ramai. Sesungguhnya sangat berat hati kurelakan Ibuku pergi dari rumah. Memang
pada awal-awal aku masih dapat berkomunikasi baik dengan Ibu. Hingga
datang sebuah berita yang mengejutkan hatiku dan merubah hidup kami sekeluarga.
Pada siang itu sepulang sekolah
aku mengucapkan salam ketika masuk ke rumah seperti biasa. Setelah menjawab
salamku nenek menyuruhku untuk berada di dekapannya.
Dengan lirih nenek berujar “Nduk, sing sabar yo nduk. Ibumu gak isa
balik rene maneh.”
“Kenopo, Mbah?” tanyaku secepat kilat.
Nenek menjelaskan kepadaku dengan
terisak-isak bahwa Ibu tidak akan kembali ke rumah ini untuk selamanya, Ibu
menikah dengan orang lain di negara tempat ia bekerja. Meskipun waktu itu aku
masih kecil, tapi tak bisa kubohongi aku sangat mengerti dengan maksud
perkataan nenek. Ya, nenek memilih kata dengan sangat berhati-hati agar sebisa
mungkin tidak membuatku shock.
Sementara itu, aku bisa mendengar tangisan pilu seorang pria dari kamar
sebelah.
Hari-hari kami jalani seperti
biasa dan aku sangat salut dengan ketegaran Abah. Sedangkan aku sendiri masih
sering melamun dan larut dalam kesedihan serta berbagai pertanyaan tentang apa
yang telah dilakukan Ibu, namun kusembunyikan kesedihanku itu dari Abah dan
Nenek semampu yang aku bisa. Aku tidak mau meruntuhkan ketegaran mereka selama
ini. Sebenarnya aku malu dengan Abah yang tegar dan tetap
semangat menjalani hidup selepas Ibu merantau dan membangun hidup dengan pria
lain.
Hari
itu Abah mendapatkan pesanan besar dari tetangga di kampung kami untuk memenuhi
keperluan hajatan keluarganya. Aku pun senang bukan kepalang
karena itu tandanya kami akan mendapat keuntungan yang besar. Aku bersepeda
bersama Abah membawa karung-karung berisi kopi. Abah terbiasa mengambil kopi
dari desa lain yang 20 km jauhnya dengan bersepeda. Siang itu sangat cerah, namun
ketika kami pulang membawa karung-karung berisi kopi, tiba –
tiba hujan turun
dengan derasnya. Abah
memberi isyarat untuk menepi di sebuah pondok bambu. Kami menunggu hujan reda
hingga 1 jam berlalu, namun hujan masih mengucur deras. Abah berlari cepat
meninggalkanku ke tepian sungai di seberang jalan. Ia mematahkan 3 buah daun pisang yang sangat lebar.
Abah segera kembali kepadaku dengan cepat. Dirangkainya daun-daun pisang yang
besar itu agar bisa menutupi
karung-karung kopi yang diikat kuat di sepeda kami, sebagian lagi
untuk melindungi kami dari hujan.
Menurut Abah hujan ini tak akan
berhenti dalam sekejap, jadi Abah memutuskan untuk tetap mengayuh pulang segera
mungkin. Abah menggoda aku untuk beradu cepat dengannya, aku pun menyanggupinya
dengan semangat. Kami lantas saling mendahului mengayuh sepeda dengan cepat di
tengah-tengah hujan deras di jalan desa yang tidak rata. Gelak tawa kami bersahut-sahutan
dengan suara rintikan hujan. Itulah hebatnya Abah, ia mampu merubah kesusahan
menjadi sebuah kesenangan. Bagiku hal ini akan menjadi sebuah pengalaman yang
tak akan aku lupakan seumur hidup. Abah
terus mengayuh sepedanya. Mungkin Abah ingin kami segera sampai di rumah. Aku
pun ikut mengayuh pedal usang sepedaku supaya melaju lebih cepat.
Sesampainya di rumah aku melihat
nenekku terbaring kesakitan. Baju Abahku pun sudah basah kuyup tertimpa derasnya
air hujan. Kami
segera meletakkan sepeda dan karung berisi biji kopi di dekat warung kopi Abah.
“Simbah, sakit mbah?”. Mukaku mulai pucat karena panik
melihat keadaan nenek yang sedang menahan sakit, wanita berusia senja yang begitu menyayangiku selama
ini.
Nenekku ternyata tergelincir
sewaktu mengangkat jemuran biji-biji kopi akibat permukaan
halaman yang licin.
Ayah langsung membawa nenekku malam itu juga ke rumah mantri desa. Untungnya nenek
tidak sampai cidera serius. Mantri memberikan sejumlah obat dan menganjurkan nenek
beristirahat. Esoknya, tepat sebelum ayam berkokok, aku terbangun
oleh deru merdu suara tumbukan biji kopi dan alu. Aku membuka mata perlahan,
kulihat bayangan Abah dibalik nyala redup lampu minyak. Kuhampiri Abah yang
tengah sibuk mengerahkan tenaganya menumbuk biji kopi di dini hari. Rupanya
Abah tahu
bahwa aku mengamatinya, Abah menoleh dan tersenyum kepadaku, memberi isyarat
padaku untuk tetap menjaga Nenek di ranjangnya. Pagi itu Abah menyuruhku untuk
menjaga Nenek yang masih sakit, Abah melarang aku membantunya melayani pesanan
di hajatan besar tetangga. Abah melakukan pekerjaan besar itu seorang diri
sedari dini hari tadi. Sungguh aku terenyuh dengan pengorbanan Abah untuk
keluarga kecil kami ini. Sore pun tiba, Abah pulang kerumah membawa segenap
peralatannya dan tersenyum lebar sembari menunjukkan padaku dan Nenek lembaran
– lembaran uang yang Abah peroleh dari hajatan tadi. Aku dan Nenek menyambutnya
dengan senyuman yang tak kalah lebar dengan senyuman Abah. Aku sangat bahagia
sekali saat itu. Beberapa hari kemudian, nenek
merasa sakitnya telah hilang dan kami pun sangat
bersyukur. Kami berharap hal buruk itu tidak akan pernah terjadi
lagi.
Sesaat sebelum aku berangkat ke
sekolah, Abah mendekatiku dan menunjuk pada sepatu lamaku. Abah ingin
membelikanku sepatu baru. Mungkin Abah tahu bahwa sepatuku sudah kurang layak
dipakai lagi.
Sudah lebih dari
5 kali sepatuku ini ditambal dan diperbaiki. Namun, tetap
saja mulut sepatuku kembali
menganga.
“Matur nuwun nggih, Abah
sudah membelikan sepatu bagus untuk Dina.” Aku memberi isyarat bahwa aku sangat berterimakasih kepada
Abah.
Aku tersenyum kegirangan padahal
jauh di dalam hatiku aku menyimpan rasa tidak tega sebab uang untuk membeli
sepatu baruku adalah uang yang Abah kumpulkan dari berjualan kopi selama
berbulan-bulan.
“Dirawat yo,
sepatumu nduk. Sing rajin sekolah yo
Dina.” Nenek
menasehatiku agar semakin rajin sekolah dengan pemberian sepatu dari Abah.
“Nggih, Mbah. Dina mesti
tambah rajin sinaune Mbah.” Aku pun berjanji pada nenek dan Abah untuk
lebih semangat lagi dalam belajar.
Hari demi hari kulalui di taman
bermain pribadiku, sebuah warung kopi milik Abahku. Seperti biasa aku selalu
menemani Abah mengambil kopi-kopi di desa lain. Akan tetapi, sore itu aku dibonceng
Abah karena kopi yang kami ambil tak banyak.
“Abah, biar Dina yang bawa karung kopinya
ya.” Aku memberi tanda bahwa
karung kopi telah kusiapkan.
Aku selalu menikmati momen berduaku
dengan Abah. Melewati perkebunan-perkebunan kopi, berjumpa dengan warga
desa yang lalu
lalang, bertemu ibu-ibu yang bekerja di perkebunan kopi yang selalu melempar
senyum tulusnya ditengah lelahnya hari. Aku jadi teringat akan Ibuku. Entah dimana dirinya
sekarang. Abah tak pernah membahas itu lagi. Aku sendiri enggan membahasnya
dengan Abah.
Takdir memang sulit ditebak
ibarat teka-teki kehidupan. Cuaca yang indah sore itu pun tiba-tiba saja
berubah. Langit berwarna hitam dan terdengar suara gemuruh dari langit yang
awalnya terang. Hujan turun begitu derasnya di tengah perjalanan kami. Abah
seperti melambaikan tangannya agar kami berhenti sejenak. Aku dan Abah duduk di
kursi kecil yang berada di dekat warung makan. Dapat kupahami bahwa ada raut
wajah kebingungan di wajah Abah. Sekarang sudah pukul 05.00 sore, sementara
penjual biji kopi akan pergi ke luar kota sekitar 30 menit lagi karena dia
harus menyetorkan kopi ke pabrik kopi Cap Capung. Sebenarnya tidak terlalu jauh jarak dari tempatku
dan Abah bernaung ke rumah penjual biji kopi. Mungkin hanya 15 menit dengan
naik sepeda. Aku segera mengambil daun pisang yang lebar dan cukup untuk kami
berdua di sekitar tempat kami berteduh. Aku
belajar dari cara Abah dalam mengatasi hujan deras waktu itu, namun jika
kami tidak ambil
biji kopi hari ini berarti Abah tidak bisa berjualan
kopi besok pagi.
Abah segera mengayuh sepedanya
dan aku yang dibonceng Abah sibuk menahan posisi daun
pisang agar hujan tak begitu membasahi kami dan karung
kopi yang aku bawa.
Daun pisang ini tetap kuat tertimpa air hujan
yang deras. Sekuat dan sekokoh itulah
hati Abahku, tak goyah berjuang di dalam hidup demi membahagiakan Ibunya yaitu Nenek dan
aku, gadis kecilnya. Akhirnya kami bisa sampai 5 menit tepat sebelum penjual biji kopi berangkat ke
luar kota.
“Hore, Abah bisa berjualan kopi
lagi di warung besok!”, teriakku senang.
Abah pun mengangguk dan tersenyum
padaku.
Tanpa
terasa Aku telah menjadi siswi Sekolah Menengah Atas. Tak lagi begitu kurasakan
pilunya hidup tanpa figur Ibunda. Abah dan Nenek telah berhasil mengajariku
makna tentang bersabar dan tegar dalam menjalani hidup.
“Abah, pagi ini Dina yang buat
kopi untuk Abah ya. Abah siap-siap di warung saja.” Aku memberikan bahasa
isyarat untuk Abah.
Pagi itu mulai banyak orang yang berdatangan ke warung kopi kami. Aku
mengolah adonan tepung pisang goreng sesuai dengan racikan Nenek. Harum aroma
kopi panas dan pisang goreng yang baru matang berhasil memikat puluhan
pelanggan setia kami setiap hari.
Tahun demi tahun aku gunakan
untuk menemani Abah. Kerja kerasku membantu Abah berjualan kopi di warung
sambil tetap menuntut ilmu terbayarkan. Prestasi-prestasiku selalu membuat
Abah bangga. Hingga akhirnya aku lulus sekolah SMA dan mendapat tawaran
beasiswa di kota yang jauh dari tempatku. Perjalananku dan Abah mengambil kopi
tidak seberapa dengan jarak yang harus kutempuh untuk meraih ilmu. Ratusan
kilometer jarak antara rumahku dan tempat aku menimba ilmu nantinya menjadi
semakin jauh karena aku harus meninggalkan Abah dan Nenek yang
kusayang.
“Abah, Dina dapat beasiswa untuk
kuliah di perguruan tinggi.” Kuberikan surat pemberitahuan beasiswa ke Abah.
Surat penerimaan beasiswa dibaca
Abah dengan berlinang air mata. Abah memelukku erat. Beliau begitu bangga
padaku.
“Mbah, Dina bisa kuliah Mbah.” Aku mendekati Nenekku dan memberitahu jika
cucunya berhasil mendapatkan beasiswa.
“Syukur, nduk. Simbah melu seneng.” Nenek juga merasakan kebahagiaan
yang luar biasa
karena cucunya
bisa mendapatkan kesempatan untuk menggapai keberhasilan hidup.
Dengan berat hati kupersiapkan
segala keperluanku untuk melanjutkan pendidikan nanti. Tas jinjing yang sudah
lusuh akan menemani perjalananku nantinya. Hatiku rasanya pilu bercampur haru.
Pilu karena harus meninggalkan rumah, Abah, nenek dan warung kopi yang telah
menjadi tempat bermainku, namun
juga terharu karena bisa melanjutkan kuliah walaupun
aku berasal dari keluarga yang sederhana di desa.
“Abah, Dina pamit kuliah nggih, bah. Abah jaga diri bah. Dina
sayang Abah dan Simbah.” Kucium
tangan Abah dan Nenekku
yang mengantarku hingga ke depan pintu.
Rindu rasanya jauh dari
orang-orang yang sangat berharga dalam hidupku. Namun,
aku hanya mampu pulang setahun sekali saat Hari Raya. Selebihnya kusimpan rindu
itu di dalam kalbu dan kutuangkan melalui doa-doa untuk Abah dan Nenek. Waktu ketika aku bisa berkumpul
lagi bersama Abah dan Nenek
adalah momen yang sangat kunantikan. Aku akan dekat-dekat selalu dengan Nenek dan masih membantu Abah di
warung kopinya.
“Dina kangen sama Abah dan Simbah.” Kata-kata itu yang selalu
kuucapkan begitu aku bisa menginjakkan kaki kembali di rumahku. Meskipun hanya
setahun sekali semenjak aku kuliah.
Tak terasa aku sudah
menyelesaikan pendidikan dan aku sudah menjadi seorang sarjana. Aku diterima
bekerja di sebuah perusahaan kopi yang cukup ternama di kota besar. Wanita
karir, orang-orang kerap menyebutku. Dina kecil, seorang gadis desa kini
telah tumbuh sebagai wanita dewasa. Kupandangi langit malam yang
dipenuhi dengan
bintang-bintang dari tempat tinggalku sekarang. Dari atas terlihat betapa
suasana kota ini masih gemerlap oleh cahaya lampu yang
keluar dari gedung – gedung pencakar langit. Aku pun jadi teringat tentang
Abah dan nenekku. Kedua orang yang kusayangi, Abah dan Nenek pernah bercerita ingin pergi
beribadah ke tanah suci. Jerih payahku bekerja selama ini kutabung
untuk mereka dan kini akhirnya aku
mampu mewujudkan keinginan mereka.
Pagi itu aku segera berangkat ke
perusahaan tempatku bekerja. Aku selalu berusaha untuk selalu datang lebih awal daripada yang
lain. Bosku pun selalu memujiku karena aku memiliki performa kerja yang semakin
baik dari waktu ke waktu. Ini tentu merupakan hasil dari apa yang telah
diajarkan Abah dan Nenek padaku sejak kecil.
“Dina, saya ingin memberikan kamu
penawaran yang sangat bagus.” Bosku datang ke ruang kerjaku dengan rona wajah
yang sumringah.
“Kalau saya boleh tahu, penawaran
apa itu Pak?’’ jawabku.
“Prestasi kerjamu patut
diapresiasi dan saya berencana mengirim kamu untuk memimpin
kantor cabang perusahaan kita di Shanghai.
Tetapi hanya bila
kamu tertarik,
jadi bagaimana?”.
Bosku berkata penuh harap.
Aku sangat
terkejut dan merasa
sulit untuk
menjawab pertanyaan dari bosku. Semangat bos yang berapi-api seolah kupadamkan
dengan keheninganku.
“Ma..ma..maaf Pak. Saya
mohon maaf sekali. Terima
kasih atas penawarannya
Pak, namun saya
tidak bisa menerima tawaran Bapak. Mungkin Bapak ada kandidat
lain yang lebih baik dari saya.”
Aku tahu jika bosku kecewa atas jawabanku itu.
Ada alasan yang begitu kuat
menahanku mengambil tawaran yang sangat menggiurkan itu. Ya,
ini tentang Abah dan Nenek. Kesempatan
cuti beberapa hari kumanfaatkan untuk menengok kampung halaman. Sekitar jam
09.00 pagi aku sampai di jalan masuk menuju desaku, setelah
beberapa menit, datanglah delman yang kutunggu. Tinggal lama di kota besar,
penerbangan lintas kota dan benua yang sering kutempuh, tidak sedikitpun
mempengaruhi keluwesanku dalam menaiki delman. Kulalui jalan desa yang dulu
sering menjadi arena bermainku dan tempatku bersepeda dengan Abah untuk membeli
biji kopi. Kulewati pula gubuk petani yang dulu sering menjadi persinggahanku
dan Abah di kala kami terjebak hujan. Larutku
dalam kenangan – kenangan indah masa kecilku dahulu, hingga tanpa kusadari aku
telah sampai di depan rumahku dan warung kopi Abah yang masih beroperasi hingga
sekarang. Warung kopi yang dulu hanya berupa tiang – tiang bambu dan beratap
jerami, kini telah bertembok kokoh dengan cat biru dan beratap genting
mengkilat. Sesosok pria keluar dari dalam warung dan berjalan menuju arahku.
“Ya
ampun, Kok nggak ngabari dulu toh Nak Dina kalau mau datang. Pak Di dadi mboten penak.” Ujar Pria itu dengan
nada sungkan padaku.
Aku
membalasnya dengan senyuman, “Mboten nopo
Pak Di, santai saja, Pak Di biar
lanjut saja jaga warungnya. Saya mau langsung ke makam dulu setelah menaruh
tas.”
Segera
setelah memindahkan tas bawaanku dari delman ke dalam rumah, aku pun pergi
menggunakan sepeda Abah yang masih terawat baik ini menuju makam yang tak jauh
dari rumah. Ya, aku datang
untuk mengunjungi
makam Abah
dan nenek. Betapa sedih hatiku, 4 tahun lalu aku mendapat kabar
yang menyedihkan perihal kematian nenek. Di kala aku masih berjuang menjadi
pegawai baru di kantor. Dua tahun setelahnya, tepat di saat aku mendapatkan
bonus penjualan dari perusahaan, yang sangat cukup untuk mewujudkan keinginan
Abah menunaikan ibadah Haji. Hatiku justru remuk redam. Seorang tetangga
memberiku kabar duka atas meninggalnya Abahku tercinta. Betapa lirih hatiku,
tak bisa kupercaya di saat aku telah mampu membahagiakan Abah dan nenek secara
materi, ternyata takdir
berkata
lain. Aku menjadi sebatang kara, Tuhan sudah ingin memanggil mereka ke surga. Sejujurnya,
aku belum bisa keluar dari kesedihan ini. Itulah sebabnya aku menolak tawaran
bos waktu itu, karena aku
tak mampu dan tak mau semakin jauh dari Abah dan Nenek, walau
kini hanya tinggal
jasad mereka yang
berada di bumi, di desa tempatku dilahirkan. Akan
tetapi, kenangan-
kenangan indah bersama Abah dan Nenek tak akan bisa membuatku berada terlalu
jauh dan terlalu lama meninggalkan kampung halamanku ini. Sekalipun
tidak ada lagi suara tawa dan pelukan hangat Abah dan nenek. Setidaknya aku
bisa mendatangi tempat peristirahatan terakhir mereka. Semoga
kelak aku bisa setegar Abah dan sekuat Nenek, menanggapi perpisahan dengan hati
yang ikhlas dan sabar.
Kukayuh sepedaku kembali menuju
rumah, tiba-tiba dari arah belakangku sayup-sayup terdengar orang memanggil
namaku. Diikuti dengan suara orang berlari. Semakin kencang dia berlari semakin
keras pula namaku terdengar. Ternyata dia adalah tetangga dekat rumahku yang
biasa memesan kopi di warung Abah dulu.
“Nduk, piye kabarmu?”. Dia
menanyakan kabarku yang memang sudah sedikit lama tak pulang ke desa.
“Sae, Pak.” Aku menjawab bahwa aku baik-baik saja.
“Dina, pabrik kopi Cap Capung
mau bangkrut. Pemiliknya sekarang cuma menjual pabriknya kurang dari seratus
juta. Kalau Dina mau, mungkin Nak
Dina bisa
bantu?”
“Oh? Nggih Pak. Makasih
infonya nggih.” Jawabku
padanya.
Setelah melakukan
analisa prospek dan memantapkan hati,
aku pun memutuskan
bahwa aku ingin membeli pabrik kopi yang hampir gulung tikar tersebut. Aku
ingin menyelamatkan pabrik legendaris yang menjadi tumpuan hidup desa kami. Keputusanku
sudah bulat, aku berhenti dari tempatku bekerja. Aku ingin membangun kembali
perusahaan kopi itu. Aku ingin memajukan kesejahteraan desa ini. Bagiku secangkir kopi tidak hanya
sekedar minuman
nikmat yang sangat
digemari, tetapi
justru jauh lebih daripada itu. Di dalam secangkir kopi yang diracik Abah,
terdapat triliunan kebahagiaan dan harapan
positif dalam perjuangan hidup, dari cangkir-cangkir
kopi itulah Abah menularkan semangat besarnya kepada petani-petani
dan warga desaku yang sehari-harinya
menggantungkan hidupnya dari perkebunan kopi. Begitu pula dengan secangkir kopi yang aku buat untuk Abah, mengandung segala ungkapan
cinta dan rasa
terima kasihku yang tak terhingga
padanya,
Baru kusadari, candaan Abah tentang pabrik kopi waktu
itu benar-benar
terjadi.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan NulisBuku.com
No comments:
Post a Comment