Tuesday, September 13, 2016

Menanamkan Kejujuran dari Keluarga untuk Masa Depan Bangsa

Menanamkan Kejujuran dari Keluarga untuk Masa Depan Bangsa

Keluarga memiliki posisi yang penting dalam pembentukan karakter anak. Sebab di dalam keluarga, anak akan mendapatkan sosialisasi pertama kalinya. Memang pantas rasanya apabila  keluarga  disebut sebagai sumber sosialisasi primer, karena sebelum seorang anak mendapatkan nilai-nilai di lingkungan lainnya anak berinteraksi lebih banyak dengan keluarga tempat ia dibesarkan. Penanaman nilai-nilai dan pembentukan karakter anak di dalam keluarga tentu dapat dimulai sejak dini. Dapat dikatakan karakter anak yang kuat ibarat fondasi suatu bangunan dan bangunan sebagai bangsa. Jika fondasi bangunan tersebut kokoh, maka bangunan akan kokoh dan tetap tegak berdiri. 

Penanaman Nilai pada Anak

Salah satu nilai yang perlu ditanamkan oleh keluarga kepada anak-anaknya adalah nilai kejujuran. Sifat anak yang jujur tidak hanya membawa keuntungan bagi anak, keluarga, masyarakat namun juga berdampak kepada masa depan bangsa kita. Anak adalah penerus bangsa ini, apa yang ditanamkan  dan diterima oleh anak akan menjadi nilai-nilai yang terus dipegang oleh anak tersebut. Karakter anak yang baik akan membentuk masa depan bangsa yang baik pula. Hal yang sebaliknya pun berlaku, apabila karakter anak tidak dilandasi kejujuran, maka akan buruk masa depan bangsa kita ini. 

Lantas pertanyaannya, bagaimana memulai menanamkan kejujuran dari keluarga? Berikut penulis sampaikan poin-poin tentang menanamkan kejujuran dari keluarga yang dapat kita lakukan dari sekarang. Poin-poin yang dijabarkan disini adalah nilai-nilai yang selalu ditanamkan keluarga sejak penulis kecil dan merupakan pengalaman pribadi penulis.

1. Berani Menegur Apabila Melihat Tindak Kecurangan


Berani Menegur Teman


Ketika ada orang di sekitarnya misalnya teman melakukan kecurangan, kita harus berani menegur dengan baik dan bijak. Sewaktu duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), penulis pernah menjadi ketua kelas. Guru yang mengampu pelajaran matematika saat itu berpesan agar penulis mencatat nama teman yang mencontek dan meminta jawaban dari teman lain secara langsung. Pertama-tama, penulis sudah menegur orangnya, tetapi karena tidak bisa diperingatkan penulis mencatat dan melaporkan ke guru matematika tersebut. Setelah mendapat peringatan dan nasehat dari guru, teman penulis tidak berani mencontek lagi. Maraknya kasus kecurangan di negara kita seperti korupsi tidak bisa dilepaskan dari masih banyaknya orang yang bersifat acuh pada tindak kecurangan yang terjadi. 

2. Membayar Makanan dan Minuman Sesuai Jumlah


Uang 
(sumber gambar : http://www.suara.com/)

Terkadang ketika penulis membeli sesuatu misalnya jajan atau makanan, penulis mendapatkan kelebihan uang kembalian. Maka, penulis akan mengembalikan kelebihan uang kepada si penjual makanan tersebut. Pernah ada penjual yang memberi uang kembalian lebih dari jumlah yang penulis seharusnya terima. Mulai  dari Rp 500,00, Rp 1000,00 hingga puluhan ribu. Seberapa pun jumlahnya, penulis akan mengembalikannya kepada sang penjual. Hal yang sama juga berlaku ketika makanan yang penulis beli dhitung oleh penjual kurang dari jumlah semestinya. Maka, penulis akan mengecek ulang dan membayar kekurangan uang tersebut kepada penjual. Nilai kejujuran dalam membeli makanan atau minuman ini selalu ditanamkan di keluarga penulis dari dulu. Keluarga selalu menekankan untuk tidak mengambil apa yang bukan menjadi hak kita. 

3. Mengembalikan Mainan atau Barang Pinjaman ke Pemiliknya


Mainan Anak
(sumber gambar : http://www.solusisehatku.com/)

Anak-anak tentu senang ketika bermain, tak terkecuali penulis ketika masih kecil. Bermain bersama teman-teman seringkali membuat anak-anak asyik dan bahkan membawa pulang mainan milik temannya. Namun, orang tua penulis selalu mengingatkan dan mengajarkan untuk mengembalikan mainan apabila barang itu milik teman. Waktu itu, penulis pernah membawa boneka milik teman ketika masih kecil, Orang tua sadar dan tahu bahwa boneka itu milik anak tetangga. Orang tua langsung meminta penulis untuk segera mungkin mengembalikan boneka tersebut kepada pemilik. Saat penulis dewasa pun, penulis pernah meminjam barang-barang milik teman. Penulis pun mengembalikan apabila barang tersebut sudah selesai dipinjam. 

4. Tidak Mencontek dalam Tugas dan Ujian


 Mencontek Tidak Baik

Mencontek seakan-akan sudah menjadi kebiasaan siswa-siswa sekarang. Hal tersebut merupakan sebuah realita miris yang ada di sekitar kita. Kebiasaan mencontek menandakan bahwa pelajar mengutamakan jalan-jalan pintas dan instan demi mencapai sesuatu yang diinginkannya. Selain itu, mencontek juga menjadi indikator dimana anak dan pelajar tidak menghargai suatu proses/usaha yang benar, namun lebih mengedepankan sesuatu yang praktis serta merugikan banyak orang termasuk dirinya sendiri. Orang tua penulis selalu berpesan kepada penulis untuk tidak mencontek ketika mengerjakan tugas-tugas sekolah maupun saat ujian. Penulis selalu diajarkan untuk berusaha dan belajar menjelang menghadapi ujian dan ulangan. Orang tua tidak pernah memarahi penulis apabila penulis mendapatkan nilai kurang memuaskan, sebab itu adalah resiko dan konsekuensi penulis yang memang saat itu agak malas belajar. Akan tetapi, ketika penulis belajar dengan giat dan mendapatkan nilai memuaskan baru orang tua mengapresiasi. Mencontek sepertinya 'tidak merugikan', tapi apabila kita lihat lebih dalam, mencontek menunjukkan ketidakadilan bagi orang lain yang telah bersusah payah dalam belajar dan membuat rugi diri sendiri karena kita tidak mendapatkan ilmu dari mencontek.

5. Mengakui Kesalahan Apabila Berbuat Salah


Jangan Malu Akui Kesalahan
(sumber gambar : http://media.iyaa.com/)

Anak-anak sudah seharusnya diajarkan bagaimana membedakan hal yang benar dan yang salah. Hal yang perlu ditekankan adalah menanamkan anak untuk tidak malu mengakui kesalahan apabila anak tersebut memang bersalah. Orang tua penulis selalu mendidik agar berani mengakui kesalahan jika ada perbuatan salah yang penulis lakukan dan bersedia meminta maaf kepada orang lain. Waktu penulis kecil, pernah merusakkan barang milik teman seperti raket untuk bulu tangkis dan pulpen. Orang tua ketika tahu bahwa barang rusak karena penulis menasehati penulis untuk mengganti barang-barang tersebut serta tidak mengulanginya lagi. Pengalaman itu membuat penulis tidak malu mengakui kesalahan yang penulis perbuat. Secara tidak langsung, orang tua mengajarkan penulis agar mampu membedakan perilaku mana yang benar dan mana yang tidak benar. Setelah kita dapat membedakannya, maka akan timbul perasaan melakukan perilaku yang baik dan meninggalkan kegiatan yang tidak baik. 

Kelima contoh tersebut sepintas terlihat sebagai hal-hal kecil yang kurang memiliki makna. Namun kita harus sadar, segala sesuatu yang besar justru dimulai dari hal-hal kecil. Menanamkan kejujuran dan membentuknya menjadi karakter dapat dimulai dari keluarga. Kejujuran dari langkah kecil seperti yang sudah penulis sebutkan di atas akan membawa dampak yang besar bagi masa depan bangsa Indonesia. Jika setiap keluarga di Indonesia menanamkan nilai kejujuran kepada anak-anaknya, tidak mustahil Indonesia akan memiliki generasi penerus bangsa yang cerdas dan menjunjung tinggi nilai kejujuran.

Aku anak jujur dan kita semua bisa menjadi anak jujur. Mari kita tegakkan kejujuran dari sekarang demi Indonesia yang semakin baik! 

No comments:

Post a Comment

Udang Tahu Saus Skippy® Peanut Butter

Saya dari dulu memang menyukai hobi masak. Bahkan sewaktu masih kuliah pun, saya lumayan sering memasak makanan sendiri, alih-alih memb...